Jumat, 27 Mei 2011

laporan parasit dan penyakit ikan

I.     PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sumber andalan dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Produksi dari perikanan budidaya sendiri secara keseluruhan diproyeksikan meningkat dengan rata-rata 4,9 % per tahun. Target tersebut antara lain didasarkan atas dasar potensi pengembangan daerah perikanan budidaya yang memungkinkan di wilayah Indonesia. Melihat besarnya potensi pengembangan perikanan budidaya serta didukung peluang pasar internasional yang  masih terbuka luas, maka diharapkan sumbangan produksi perikanan budidaya semakin besar terhadap produksi nasional dan penerimaan devisa negara, keterkaitannya dalam penyerapan angkatan, serta peningkatan kesejahteraan petani/nelayan di Indonesia. Pada akhir tahun 2009, kontribusi dari produksi perikanan budidaya diharapkan dapat mencapai 5 juta ton dan ekspor sebesar US $ 6,75 milyar (Sukadi, 2004).
Untuk mencapai target produksi perikanan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai permasalahan menghambat upaya peningkatan produksi tersebut, antara lain kegagalan produksi akibat serangan wabah penyakit ikan yang bersifat patogenik baik dari golongan parasit, jamur, bakteri, dan virus.
 Penyakit ikan biasanya timbul berkaitan dengan lemahnya kondisi ikan yang diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain penanganan ikan, faktor pakan yang diberikan, dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Pada padat penebaran  ikan yang tinggi jika faktor lingkungan  kurang menguntungkan misalnya kandungan zat asam dalam air  rendah, pakan yang diberikan kurang tepat baik jumlah maupun mutunya, penanganan ikan kurang sempurna, maka ikan akan  menderita stress. Dalam keadaan demikian ikan akan mudah terserang  oleh penyakit (Snieszko, 1973 ; Sarig, 1971). 
  Wabah penyakit ikan yang pertama di Indonesia terjadi pada tahun 1932 (Sachlan, 1952) yaitu ketika parasit Ichthyophthirius multifiliis menyebabkan banyak kematian pada ikan tawes (Puntius gonionotus). Kemudian pada tahun 1970 kasus wabah penyakit ikan yang disebabkan oleh Lernaea cyprinacea yang banyak menimbulkan kerugian pada produksi benih ikan mas. Pada tahun 1980 sampai  1983 dunia perikanan di Indonesia telah dirugikan dengan adanya  wabah penyakit bakterial yang kemudian terkenal dengan penyakit  merah yang banyak menimbulkan kerugian pada budidaya ikan mas dan  lele serta ikan-ikan lainnya. Dan pada tahun‑tahun berikutnya  penyakit tersebut menyebar hampir keseluruh Asia, dan kemudian  terkenal dengan sebutan penyakit Epizootic Ulcerative Syndrome  (EUS).
Pada usaha penanggulangan beberapa bahan kimia dan antibiotika telah banyak diteliti  kegunaannya untuk pemberantasa penyakit ikan. Namun demikian pengunaan bahan‑bahan tersebut diatas dirasakan banyak  menimbulkan masalah sampingan terlebih‑lebih apabila pemakaian  bahan tersebut tidak menuruti aturan. Maka penelitian sekarang  ditujukan kepada cara yang lebih effektip dan effisien yaitu  dengan usaha pencegahan. Penelitian tentang pemakaian vaksin baik  untuk panyakit bakterial maupun penyakit parasiter telah mulai dilakukan (Supriyadi dan Taupik, 1983). Selain itu penelitian pemilihan strain ikan yang tahan  terhadap penyakit ikan juga telah dilakukan (Supriyadi, 1986).
Petani ikan biasanya hanya berpikir bagaimana cara mengejar  hasil yang setinggi‑tingginya tanpa memikirkan masalah lain yang  sebenarnya sangat mendukung pada keberhasilan usaha budidaya. Salah satu contoh yang masih kurang diperhatikan adalah pemberian pakan yang tidak tepat  tanpa mengetahui apakah pakan tersebut dimakan oleh ikan atau tidak. Dengan banyaknya pakan yang tertimbun didasar perairan maka akan banyak menimbulkan masalah berupa pembusukkan pakan yang pada akirnya akan menghasilkan bahan cemaran antara lain ammoniak.
Cara penanganan yang kasar serta  kurang memperhatikan tindak aklimatisasi setelah pengangkutan  ikan juga merupakan suatu faktor yang dapat menimbulkan  terjadinya kasus wabah penyakit ikan.
Faktor lain adalah masalah  konstruksi kolam atau bak yang biasanya kurang sempurna dan tidak mendukung sanitasi air . Hal ini juga merupakan suatu  faktor yang mempercepat terjadinya wabah penyakit ikan.
1.2 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dari praktikum parasit dan penyakit ikan ini adalah untuk mengatahui berbagai jenis parasit dan penyakit ikan baik yang disebabkan oleh bakteri, jamur maupun virus. Sehingga setelah kita mengetahui jenis dan tanda-tandanya, kita bisa mencari cara untuk menanggulanginya. 





II.  TINJAUAN PUSTAKA

Parasit adalah hewan atau tumbuh-tumbuhan yang berada pada tubuh, insang, maupun lendir inangnya dan mengambil manfaat dari inang tersebut. Dengan kata lain parasit hidup dari pengorbanan inangnya. Parasit dapat berupa udang renik, protozoa, cacing, bakteri, virus, dan jamur. Manfaat yang diambil parasit terutama adalah zat makanan dari inangnya.
Berdasarkan letak penyerangannya parasit dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama disebut ektoparasit yaitu parasit yang menempel pada bagian luar tubuh ikan dan kelompok kedua adalah endoparasit yaitu parasit yang berada dalam tubuh ikan.
Argulus sp. merupakan ektoparasit ikan yang menyebabkan argulosis.   Akibat yang ditimbulkan oleh infeksi Argulus sp. pada ikan adalah beberapa sisik tubuh terlepas, terdapat titik-titik merah pada kulit, insang berwarna kehitam-hitaman dan timbulnya lendir (mukus) yang berlebih pada sirip. Pertahanan pertama ikan terhadap serangan penyakit berada di permukaan kulit, yaitu mukus, jaringan epitelia, insang. Mukus melapisi seluruh permukaan integumen ikan, termasuk kulit, insang dan perut. Pada saat terjadi infeksi atau iritasi fisik dan kimiawi, sekresi mukus meningkat. Lapisan mukus secara tetap dan teratur akan diperbarui sehingga kotoran yang menempel di tubuh ikan juga ikut dibersihkan. Mukus ikan mengandung lisosim, komplemen, antibody (ig M) dan protease yang berperan untuk mendegradasi dan mengeliminer patogen.
Parasit ini masuk ke dalam tempat pemeliharaan biasanya melalui pergesekan antar kulit ikan yang terinfeksi Argulus sp. Sifat parasitik Argulus sp. cenderung temporer yaitu mencari inangnya secara acak dan dapat berpindah dengan bebas pada tubuh ikan lain atau bahkan meninggalkannya. Hal ini dapat dilakukan karena Argulus sp. mampu bertahan hidup selama beberapa hari di luar tubuh ikan (Purwakusuma, 2007).
Dactylogyrus sp. Merupakan parasit yang penting pada ikan air tawar dan ikan air laut. Juga merupakan parasit yang penting pada carp fry. Hidup di insang, tergolong monogenea, punya kaki paku dan beracetabulum. Parasit yang matang melekat pada insang dan bertelur disana. Dactylogyrus sp. merupakan cacing Trematoda dari sub-kelas Monogenea. Spesiesnya berparasit pada hewan air berdarah dingin atau pada ikan, amfibi, reptil, kadang-kadang pada invertebrata air. Distribusinya luas, memiliki siklus hidup langsung dan merupakan parasit eksternal pada insang, sirip, dan rongga mulut. Bisa juga ditemukan pada traktus urinaria. Cacing ini bersifat ovipara dan memiliki haptor yaitu organ untuk menempel yang dilengkapi dengan 2 pasang jangkar dan 14 kait di lateral. Intensitas reproduksi dan infeksi memuncak pada musim panas. Telur pada umumnya memliki operkulum dan filamen disalah satu ujungnya yang berfungsi untuk melekatkan telur pada hospes atau benda lain. Larva (oncomiridium) mempunyai silia dan eye spot lebih dari satu. Larva akan berenang dan menempel pada tubuh hospes kemudian menjadi dewasa di hospes.
Dactylogyrus sp. Menyerang ikan pada bagian insang. Paperna (1980), menyebutkan bahwa insang yang terserang berubah warnanya menjadi pucat dan keputih-putihan. Hal ini sesuai pendapat Bunkley dan Ernest (1994) dalam Talunga (2007) bahwa Dactylogyrus spp paling banyak menyerang pada bagian filament insang sehingga mengakibatkan rusaknya insang dengan produksi lendir yang berlebih dan ini akan mengganggu pertukaran gas oleh insang. Ditambahkan oleh Gusrina (2008) bahwa Dactylogyrus spp sering menyerang pada bagian insang ikan air tawar, payau dan laut.
Insang merupakan organ penting yang sangat dibutuhkan oleh organisme perairan sebab insang merupakan organ primer untuk pertukaran gas-gas juga berperan dalam proses osmoregulasi. Hal ini sesuai dengan peryataan Fujaya (1999) bahwa insang pada organism perairan sangat dibutuhkan dalam mempertahankan kondisi tubuh dengan lingkungan agar tetap seimbang untuk mempertahankan diri dari lingkungan.
Bakteri merupakan mikrobia prokariotik uniselular, termasuk klas Schizomycetes, berkembang biak secara aseksual dengan pembelahan sel. Bakteri tidak berklorofil kecuali beberapa yang bersifat fotosintetik. Cara hidup bakteri ada yang dapat hidup bebas, parasitik, saprofitik, patogen pada manusia, hewan dan tumbuhan. Habitatnya tersebar luas di alam, dalam tanah, atmosfer (sampai + 10 km diatas bumi), di dalam lumpur, dan di laut.
Bakteri mempunyai bentuk dasar bulat, batang, dan lengkung. Bentuk bakteri juga dapat dipengaruhi oleh umur dan syarat pertumbuhan tertentu. Bakteri dapat mengalami involusi, yaitu perubahan bentuk yang disebabkan faktor makanan, suhu, dan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi bakteri. Selain itu dapat mengalami pleomorfi, yaitu bentuk yang bermacam-macam dan teratur walaupun ditumbuhkan pada syarat pertumbuhan yang sesuai. Umumnya bakteri berukuran 0,5-10 μ.
Polusi atau pencemaran adalah keadaan dimana suatu lingkungan sudah tidak alami lagi karena telah tercemar oleh polutan. Misalnya air sungai yang tidak tercemar airnya masih murni dan alami, tidak ada zat-zat kimia yang berbahaya, sedangkan air sungai yang telah tercemar oleh detergen misalnya, mengandung zat kimia yang berbahaya, baik bagi organisme yang hidup di sungai tersebut maupun bagi makhluk hidup lain yang tinggal di sekitar sungai tersebut. Polutan adalah zat atau substansi yang mencemari lingkungan. Air limbah detergen termasuk polutan karena didalamnya terdapat zat yang disebut ABS. Jenis deterjen yang banyak digunakan di rumah tangga sebagai bahan pencuci pakaian adalah deterjen anti noda. Deterjen jenis ini mengandung ABS (alkyl benzene sulphonate) yang merupakan deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar dirusak oleh mikroorganisme (nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan (Rubiatadji, 1993). Lingkungan perairan yang tercemar limbah deterjen kategori keras ini dalamkonsentrasi tinggi akan mengancam dan membahayakan kehidupan biota airdan manusia yang mengkonsumsi biota tersebut.










III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum pertama berjudul “Metode Dasar Dalam Parstologi Ikan” dilaksanakan  pada tanggal 10 Desember 2010. Dan praktikum “pengamatan terhadap ikan yang keracunan bahan polutan” dilaksanakan  pada tanggal 14- Desember- 2010. Semua praktikum ini dilaksanakan di laboratorium Parasit dan Penyakit ikan jurusan Budidaya Perairan Universitas Riau.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan pada praktikum pertama adalah: ikan mas (Cyprinus carpio) sebagai sampel na citrate, larutan diff quick, timbangan, mistar ukur, mikroskop, wadah untuk mengkur ikan, talang untuk membedah ikan, timbangan, peralatan bedah ikan, pipet, slide glass, cover glass, dan pensil.
Bahan dan alat yang digunakan pada praktikum kedua adalah: ikan nila (Oreocromis niloticus) ukuran 50-10 cm (bersisik atau tidak), minyak jelantah, wadah stoples volume 5-10 L, stopwatch.
3.3. Metode Praktikum
Metode yang digunakan pada semua praktikum parasit dan penyakit ikan ini adalah metode pengamatan secara lansung pada objek yang bersangkutan.
3.4. Prosedur Praktikum
1. Prosedur praktikum pertama “pengamatan ektoparasit”:
Semua ektoparasit seharusnya diperiksa dengan menggunakan air yang sama dengan air dimana ikan itu ditangkap/ dimabil. Mukus dari ikan diambil dengan menggunakan scalpel atau slideglass, diencerkan dengan air local dan selanjudnya ditutup dengan cover glass. Semua helai insang baik insang kiri maupun kanan dilepas baru diletakkan pada petri disk secara terpisah. Buka rongga mulut periksa ada tidaknya parasit pada rongga tersebut. Cuci rongga hidung dengan menggunakan pipet. Periksa sisik dan sisi bagian dalamnya. Gunting setiap sirip dan letakkan diatas petri disk secara terpisah. Catat setiap spesies jan jumlah parasit yang ditemukan pada setiap organ. Parasit yang ditemukan harus di fiksasi pada larutan fiksasi secara tepat dan tempatkan pada botol sampel. Berikan label pada botol sampel tersebut dengan menulis nama parasit, nama inang, organ terinfeksi.
2. Prosedur praktikum kedua “pengamatan endoparasit”
Semua endoparasit diperiksa dengan menggunakan larutan garam fisiologis (0,85%  NaCl). Rongga tubuh bagian dalam dibuka dengan menggunting dari anus. Hindari menggunting usus, karena kemungkinan p[arasit ada didalam usus. Periksa organ-organ viscera in situ. Organ-organ viscera (gall dan urinary bladder, hati, limpah, ginjal, gonad, jantung otak dan mata) dipindahkan pada petri disk secara terpisah untuk pemeriksaan. Gunting organ pencernaan mulai dari pangkal anus sampai pada lokasi sekitar insang. Setelah pemeriksaan permukaan luar organ pencernaan, lakukan pemotongan terhadap bagian-bagian tertentu seperti lambung, pyloruc caeca, bagian anterior, tengah dan posterior usus dan rectum. Bagian-bagian tersebut dibuka dan diperiksa parasitnya. Setelah itu mucus dari organ tersebut dikeruk dengan scalpel/ slide. Dinding dari saluran pencernaan diperiksa dengan menggunakan cahaya dari bawah.
3. prosedur praktikum keempat “penamatan terhadap ikan yang keracunan bahan polutan”
ü Siapkan wadah kemudian isi wadah dengan air
ü Larutkan bahan pencemar, kemudian aduk sampai homogen
ü Masukkan ikan
ü Amati tingkah laku ikan dan hitung bukaan operculum
ü Catat. Setiap 5 menit pengamatan, sampai menit ke 30. Lihat keadaan mucus, perubahan warna, bukaan overculum dan tingkah laku ikan tersebut
ü Setelah 30 menit Bedah ikan. Amati jantung, insang, hati dan ginjal.













IV. HASIL  DAN  PEMBAHASAN

4.1. Hasil
A. Hasil praktikum  “ pangamatan ektoparasit”:
1. Argulus sp.
Klasifikasi:

Fhylum            : Arthropoda,
Klas                 : Crustacea
Subkelas          : Entomostsaca,
Ordo                : copepoda
Subordo          : Branchiora
Famili              : Argulidae
Genus              : Argulus
Spesies            : Argulus sp.

Gambar 1. Struktur Argulus sp


Keterangan :

a. preoral stylet
b. sucker
c. maxilla
d. kaki thorax pertama
e. abdomen

B. Pangamatan  endoparasit
1. Trypanoplamatisis

















C. Hasil praktikum kedua “pengmatan terhadap ikan yang keracunan bahan polutan”


4.2 Pembahasan
Bentuk tubuh Argulus sp. adalah pipih bulat dengan diameter ± 5 mm. Tubuhnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu cephalothorax, thorax, dan abdomen. Ciri utama yang paling menonjol pada Argulus sp. adalah adanya sucker besar pada bagian ventral. Sucker merupakan modifikasi maxillae pertama dan berfungsi sebagai organ penempel utama pada Argulus sp. dewasa. Selain itu terdapat preoral dan proboscis untuk melukai dan menghisap sari makanan dari inang (Peter walker, 2005).
Sifat parasitik Argulus sp. Cenderung temporer atau dapat berpindah pada tubuh ikan lain, hal ini dapat dilakukan karena Argulus sp. Mampu bertahan hidup selama beberapa hari di luar tubuh ikan. Perpindahan ke inang baru dapat terjadi dengan berbagai sebab, misalnya karena inang mati, inang berhasil melepaskan diri dari parasit, Argulus jantan mencari pasangan untuk kawin atau Argulus betina melepaskan diri untuk meletakkan telur dan kemudian bebas kembali mencari inang (R. Heckmann, 2003).
Menurut Prasetya et.al (2004) serangan parasit lebih sering mematikan pada ikan-ikan muda yang biasanya berukuran kecil karena belum berkembangnya sistem pertahanan tubuh. Selain menginfeksi ikan, Argulus sp. juga dapat berperan sebagai vektor bagi virus atau bakteri yang sering menyebabkan penyakit pada ikan. Bakteri, virus dan organisme penyakit lainnya dapat masuk ke dalam tubuh ikan karena integumen sebagai pertahanan pertama ikan telah dirusak oleh Argulus sp. (R. Heckmann, 2003).
Dactylogyrus sp mempunyai ophistapor (posterior suvker) dengan 1 – 2 pasang kait besar dan 14 kait marginal yang terdapat pada bagian posterior. Kepala memiliki 4 lobe dengan dua pasang mata yang terletak di daerah pharynx.
Dactylogyrus merupakan ektoparasit cacing yang ditemukan menyerang insang ikan dan jarang ditemukan pada permukaan tubuh ikan. Ikan yang terinfeksi tampak stress, berenang terus menerus, berkumpul di dekat pintu pemasukan air. Insang berwarna pucat, ditutup oleh lendir, dan sering berbentuk seperti mozaik. Pada titik dimana jangkar cacing mencengkeram, terlihat adanya kerusakan epithelium dan terganggunya jaringan. Rusaknya epithelium ditambah dengan produksi lendir yang berlebihan, akan mengganggu pertukaran gas oksigen. Akibatnya sel-selnya akan mati dan tidak berfungsi. Akibatnya ikan akan mati dan tidak berfungsi. Akibatnya ikan akan mati karena tidak dapat bernafas dengan baik. Parasit cacing ini termasuk parasit penting, karena secara nyata dapat merusak filament insang, dan relatif lebih sulit dikendalikan.
Efek patologi dari parasit Dactylogyrus sp adalah kerusakan yang sangat parah pada insang yaitu: pendempetan antara lamella sekunder (fusion), pembengkakan pada ujung lamella sekunder (distal hyperflasia), pembengkakan pada pangkal lamella sekunder (basal hyperflasia), dan terjadinya produksi lendir/mucus yang berlebihan. Menurut Takhasima dan Hibiya (1995), apabila terjadi kelebihan sel mucus pada lamella primer dan fusion (pendempetan lamella) dan hyperflasia pada lamnella sekunder maka ini merupakan tanda kerusakan yang sudah parah akibat parasit, bakteri, atau kerusakan akibat zat kimia.
Penyerangan dimulai dengan cacing dewasa menempel pada insang atau bagian tubuh lainnya. Setelah matang gonad, telurnya akan jatuh ke perairan. Dalam 2 – 3 hari dengan suhu 24 – 28 O C, telur yang jatuh akan menjadi larva infektif kemudian membentuk dua tonjolan di bagian anterior. Pecahnya tersebut terjadi akibat adanya tekanan dari dalam dorongan perkembangan larva. Kemudian larva akan keluar dan berenang bebas mencari inang untuk tumbuh menjadi dewasa. Bila dalam 10 jam tidak menemukan inang yang cocok, maka larva tersebut akan mati.
Pada suhu 20 – 28 O C larva Dactylogyrus sp. Yang tidak menemukan inang hanya bisa bertahan 12 jam. Telur Dactylogyrus sp. Sangat resisten terhadap lingkungan. Pada suhu 23 O C telur akan menetas dalam 2,5 – 4 hari. Pada suhu 13 – 14 O C larva akan menjadi dewasa dalam 4,5 minggu.
Air yang tercemari detergen dapat mengancam kehidupan organisme yang hidup di dalamnya, salah satunya adalah ikan. Selain ikan masih banyak organisme lain, seperti fitoplankton, zooplankton/protozoa, cyanobacteria, dan lain-lain. Jika organisme-organisme seperti fitoplankton mati, maka zooplankton akan mati karena tidak ada makanan, ikan-ikan pun akan mati karena zooplankton yang biasa dimakan tidak ada. Dengan kata lain detergen dan polutan lainnya yang mencemari air dapat memusnahkan seluruh organisme yang hidup di dalamnya.
Besar tidaknya pengaruh detergen dan polutan lainnya pada ikan dan makhluk hidup lain tergantung pada konsentrasi polutan tersebut. Semakin tinggi konsentrasi polutan, semakin besar pengaruhnya.



V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
Penyakit adalah terganggunya kesehatan ikan yang diakibatkan oleh berbagai sebab yang dapat mematikan ikan. Secara garis besar penyakit yang menyerang ikan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penyakit infeksi (penyakit menular) dan non infeksi (penyakit tidak menular). Penyakit menular adalah penyakit yang timbul disebabkan oleh masuknya makhluk lain kedalam tubuh ikan, baik pada bagian tubuh dalam maupun bagian tubuh luar. Makhluk tersebut antara lain adalah virus, bakteri, jamur dan parasit. Penyakit tidak menular adalah penyakit yang disebabkan antar lain oleh keracunan makanan, kekurangan makanan atau kelebihan makanan dan mutu air yang buruk.
Penyakit dapat diartikan sebagai organisme yang hidup dan berkembang di dalam tubuh ikan sehingga organ tubuh ikan terganggu. Jika salah satu atau sebagian organ tubuh terganggu, akan terganggu pula seluruh jaringan tubuh ikan . Pada prinsipnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi inang (ikan) dan kondisi jasad patogen (agen penyakit). Dari ketiga hubungan faktor tersebut dapat mengakibatkan ikan sakit. Sumber penyakit atau agen penyakit itu antara lain adalah parasit, cendawan atau jamur, bakteri dan virus.
Di lingkungan alam, ikan dapat diserang berbagai macam penyakit. Demikian juga dalam pembudidayaannya, bahkan penyakit tersebut dapat menyerang ikan dalam jumlah besar dan dapat menyebabkan kematian ikan, sehingga kerugian yang ditimbulkannya pun sangat besar. Penyebaran penyakit ikan di dalam wadah budidaya sangat bergantung pada jenis sumber penyakitnya, kekuatan ikan (daya tahan tubuh ikan) dan kekebalan ikan itu sendiri  terhadap serangan penyakit. Selain itu cara penyebaran penyakit itu biasanya terjadi melalui air sebagai media tempat hidup ikan, kontak langsung antara ikan yang satu dengan ikan yang lainnya dan adanya inang perantara.
5.2. Saran
Saran yang bisa diberikan untuk para praktikan adalah agar para praktikan benar-benar melakukan praktikum ini sesuai prosedur yang ada, sehingga hasil yang diperoleh bisa dipertanggung jawabkan. Karena ilmu yang bisa kita peroleh dari praktikum ini sangat banyak dan bermanfaat bagi kita kedepannya.












DAFTAR PUSTAKA

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 3. Diakses Dari http://ftp.lipi.go.id/pub/Buku_Sekolah_Elektronik/SMK/Kelas%20XII/Kelas%20XII_smk_budidaya_ikan_gusrina.pdf. Pada Tanggal 17 Mei 2009.
Heckmann, R. (2003), Other Ectoparasites Infesting Fish; Copepods, Branchiurans, Isopods, Mites and Bivalves, Aquaculture Magazine, USA.
Fujaya, Y. 1999. Fisiologi Ikan. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar
Sachlan, M. 1952. Notes on parasites of freshwater fishes in Indonesia. Contrib. Inl. Fish.Res. Stat. No. 2. 1 ‑ 60.
Sarig, S. 1971. Diseases of Warmwater Fishes. TFH Publ., Neptune            City, New Jersey.
Sukadi, F., 2004. Kebijakan pengendalian hama dan penyakit ikan dalam mendukung akselerasi pengembangan perikanan budidaya. Disampaikan pada Seminar Nasional Penyakit Ikan dan Udang IV di Univ. Jenderal Soedirman, Purwokerto, 18 – 19 Mei 2004.
Supriyadi, H. dan P. Taufik. 1983. Penelitian pendahuluan   immunisasi ikan dengan cara vaksinasi. Bull. Pen. PD .4 (1): 34 ‑36.
Supriyadi, H. 1986. The susceptibility of various fish species to infection by the bacterium Aeromonas hydrophila. p. 241 ‑  242. In J.L. Maclean, L.B. Dizon and L.V. Hosillos (eds) The first Asian Fisheries Forum. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.
Takashima, F dan Hibiya, T. 1995. Fish Histologi Normal and Parthological Features of Second Edition. Kadausha. Tokyo.Talunga, J. 2007. Tingkat Infeksi dan Patologi Parasit Monogenea (Cleiododiscus sp) pada Insang Benih Ikan Patin (Pangasius pangasius). Skripsi. Universitas Hasanuddin
Walker, Peter. (2005), Problematic Parasites, Department of Animal Ecology and Ecophysiology Radboud University Nijmegen, Netherlands.



2 komentar:

  1. mksh bg atas postingannya..,
    jgan lupa singgah jga di blog kami..
    http://poetraempeloe.blogspot.com

    BalasHapus
  2. kalo ikan budidaya terserang parasit argulus, berdampak ga sama petani ikan ?

    BalasHapus